Isu Sejarah Peteng Wacana pengembalian trah Sunan Gunung Jati

Artikel. Suararadarcakrabuana.com – Setelah wafatnya Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat Juli lalu, isu sejarah peteng menyeruak. Wacana pengembalian trah Sunan Gunung Jati bahkan menyusul kemudian. Pangeran Basmudin Adji Arkaningrat dari keluarga besar Mertasinga, keturunan Sultan Sepuh IV Sultan Raja Amir Sena Muhammad Jaenuddin mengungkapkan, dari 2 pihak yang tengah bertentangan.
Putra Mahkota Pangeran Raja Adipati Luqman Zulkaedin dan Rahardjo Djali, yang mengangkat dirinya sebagai polmak atau pelaksana tugas Sultan Sepuh XV belum lama ini, tak satu pun trah asli Sunan Gunung Jati.
“Saya bukan ahli sejarah, tapi dari dongengan (kisah) keluarga, mereka bukan keturunan asli,” katanya dalam sebuah deklarasi pernyataan sikap netral di Pendopo Keratuan Singhapura, Desa Mertasinga, Kecamatan Gunung Jati Kabupaten Cirebon.
Menurutnya, keturunan Sunan Gunung Jati asli hanya sampai pada Sultan Sepuh V Pangeran Muhammad Syafiuddin Matangaji.
Menurutnya, Kesultanan Cirebon didirikan Sunan Gunung Jati sehingga penerusnya pun haruslah keturunan garis laki-laki Sunan Gunung Jati.
Keluarga besar Mertasinga sendiri berencana membentuk semacam dewan keluarga keraton untuk meluruskan sejarah dan mencari penerus sah Keraton Kasepuhan.
“Kami akan membenarkan yang tidak benar dan meluruskan yang tidak lurus,” katanya.
Filolog Cirebon, Raffan S Hasyim menyebutkan, tradisi di Keraton Kasepuhan telah berbelok jauh pasca Sultan Sepuh V Pangeran Muhammad Syaifudin Matangaji mangkat. Sultan Sepuh V yang dikenal pula dengan sebutan Pangeran Matangaji disebut-sebut meninggal setelah dijebak dan dibunuh pemerintah Belanda.
“Mereka (Belanda) mengajak (Pangeran Matangaji) berunding, ternyata ditembak. Hanya, Pangeran Matangaji tidak tewas (ditembak), tapi kemudian dieksekusi dari belakang dengan kerisnya sendiri,” tuturnya.
Pangeran Matangaji dieksekusi oleh Ki Muda dari Talaga, paman Pangeran Matangaji dari garis ibu. Oleh pemerintah Belanda ketika itu, Ki Muda lantas diangkat sebagai polmak.
Pengangkatan itu, lanjutnya, menyalahi aturan keraton karena Ki Muda bukan keturunan sultan. Tahta sultan seharusnya diberikan kepada adik Pangeran Matangaji, yani Pangeran Suryanegara.
“Tapi karena yang berkuasa saat itu pemerintah Belanda, yang diangkat polmak sebagai penerus tugas keraton malah Ki Muda dari Talaga,” tuturnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *