Pangeran WangsaKerta Lebih Dikenal Sebagai Kutu Buku

Cirebon. suararadarcakrabuana.com – Mari kita mengenal tokoh dari lingkungan keraton Cirebon yang terkenal sebagai “kutubuku” dan lebih memilih menjadi sejarawan daripada kekuasaan. Beliau adalah Pangeran Wangsakerta.

Ia adalah anak ketiga dari Panembahan Girilaya dari Cirebon. Kakak pertamanya Pangeran Martawijaya menjadi Sultan Sepuh I. Kakak kedua Pangeran Kartawijaya menjadi Sultan Anom I. Setelah Panembahan Girilaya meninggal, kedua anaknya kembali ke Cirebon. Cirebon kemudian dipecah menjadi Kasepuhan dan Kanoman.

Pangeran Wangsakerta sibuk memilih, mengumpulkan dan endata berbagai naskah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Ia mmenyusun sebuah karya berjudul “Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara”. Jilid terakhir dari karya ini ini merupakan daftar pustaka yang menyebutkan tidak kurang dari 1700 judul naskah yang pada masa itu tersimpan di perpustakaan keraton kasepuhan Cirebon.

Dalam kata pengantar setiap jilidnya, ia menyebutkan bahwa karyanya ini selain karena ia ia gemar membaca, yang terpenting karena ia memperoleh tugas dari ayahnya yaitu Panembahan Girilaya, yang didukung oleh Sultan Sepuh I (Cirebon), Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), dan Sultan Amangkurat II (Mataram). Ketiga Raja Jawa ini berkuasa sekitar pertengahan abad ke 17. Ayahanda dari pangeran Wangsakerta sendiri meninggal pada tahun 1662.

Dalam menyusun naskah-naskah Nusantara ini, Pangeran Wangsakerta membentuk sebuah tim khusus, dan ia bertingdak sebagai penanggungjawab, pengambil keputusan, penyunting tunggal naskah akhir. Bahan baku diperoleh dengan pengumpulan sumber di lapangan, wawancara dengan para ahli, kajian kepustakaaan, lokakarya sejarah.

Karya dari Pangeran Wangsakerta (nama lainnya Abdulkamil Muhammad Nasaruddin), berhasil disusun selama 21 tahun (1677-1698). Pangeran Wangsakerta sendiri tetap mengakui adanya kemungkinan kesalahan menyusun, dan ia mohon maaf.

Karya “Pustaka Rajyarajya ini, oleh sebagian sarjana Indonesia dianggap “terlalu sejarah” untuk masyarakat Indonesia yang hidup di era lebih dari 300 tahun yang lalu. Padahal tahun 1000 Masehi pun orang Indonesia sudah “terlalu maju teknologi” sehingga menghasilkan bangunan megah fenomenal seperti Borobudur, Prambanan, Sewu, dan Ratubaka!”

Titimangsa penulisan Purwaka Cacaruban Nagari sebagai naskah yang disusun terakhir di tahun 1720. Ini dapat memperkirakan masa hidup Pangeran Wangsakerta ini yaitu sekitar tahun 1650-1620. Berarti 43 tahun terakhir dari karyanya itu selalu dipergunakan untuk mempelajari, menyusun dan menulis karya.

Sungguh suatu prestasi yang sukar dicari bandingannya bahkan hingga kini. Bahkan karya-karyanya masih ada dan dapat dipelajari hingga kini. Ternyata ada orang Indonesia yang pemikirannya jauh melewati beberapa dekade setelahnya di masa depan karena kesungguhan dalam pemikiran dan keilmuannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *