Gedung Linggarjati Saksi Bisu Sejarah Bangsa Indonesia

Kuningan suararadarcakrabuana.com – Gedung Linggarjati berlokasi di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menjadi saksi bisu dari salah satu momen penting dalam sejarah Indonesia Pasca Kemerdekaan.

Bangunan dengan ornamen khas bergaya kolonial itu, merupakan tempat berkumpulnya para diplomat ulung Indonesia yang berjuang untuk menegakkan kedaulatan negara melalui jalur diplomasi.

Setelah teks proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945, perjalanan Indonesia menuju kedaulatan penuh tidaklah mudah. Negeri yang baru meraih kebebasannya harus menghadapi tantangan besar untuk mendapat pengakuan di mata komunitas internasional. Saat itu Belanda enggan mengakui wilayah bekas koloninya telah menjadi bangsa mandiri.

Meskipun dihadapkan pada rintangan yang sulit, semangat perjuangan dan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan tidak pernah padam.

Berbagai strategi diterapkan dalam menyelesaikan sengketa dengan Belanda, hingga akhirnya Indonesia mendapatkan pengakuan dunia sebagai negara berdaulat.

jejak perjuangan bersemayam dan terpatri di dalam Gedung Linggarjati. Masyarakat yang singgah di gedung bisa menjelajahi serta menghayati kembali kisah-kisah dari para pejuang diplomasi.

Sebelum seperti sekarang, Gedung Linggarjati pada mulanya hanya merupakan gubuk sederhana yang didiami oleh seorang perempuan bernama Jasitem.

Pada dekade 1910-an, perempuan itu datang ke Kuningan untuk menetap di gubuk tersebut. Selama bertahun-tahun Jasitem menjalani kehidupan seperti kebanyakan penduduk pribumi lainnya. Dia tinggal sendirian karena tidak memiliki keturunan.

Nasib Jasitem berubah ketika seorang Belanda bernama Tersana datang menemuinya pada 1918. Peristiwa ini menjadi awal dari pembangunan Gedung Linggarjati yang sangat bersejarah itu.

Staf juru pelihara Gedung Linggarjati Toto Rudianto kepada ANTARA bercerita, Tersana diketahui merupakan pejabat berpengaruh di Pabrik Gula Tersana yang ada di Cirebon timur. Ada juga yang menyebutnya sebagai tuan Marghen atau Margen. Tokoh ini kemudian meminang Jasitem.

Setelah pertemuan itu, tepatnya pada 1921, Tersana mengubah gubuk sederhana milik Jasitem menjadi hunian semi permanen dengan menambahkan beberapa tembok di bagian fasadnya.

Banguan tersebut dijadikan sebagai tempat peristirahatan pasangan itu. Kemudian sekitar 1930-an, bekas gubuk ini dijual kepada pengusaha bernama JJ van Os, sedangkan Jasitem ikut bersama Tersana pindah ke Belanda.

Pada 1935, gedung tersebut dikontrak oleh rekan JJ van Os, yakni Heiker untuk dijadikan wisma yang bernama Hotel Restroond. Tujuh tahun berselang, bangunan itu kemudian diambil alih Jepang dan diganti nama menjadi Hotel Hokai Ryokai.

Pejuang Indonesia akhirnya dapat merebut gedung ini pada 1943, yang selanjutnya difungsikan sebagai markas, sekaligus menjadi dapur umum.

Setelah tahun 1945, nama Gedung Linggarjati berubah lagi menjadi Hotel Merdeka karena berganti kepemilikan, dan bertahan terus sampai tahun 1946.

Di sepanjang lorong yang menghubungkan berbagai ruangan di Gedung Linggarjati, pengunjung dapat merefleksikan perjuangan dari mendiang Sutan Syahrir dan rekan-rekannya dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia di hadapan perwakilan Belanda.

Sebelumnya, Indonesia dan Belanda telah berkali-kali menjalin negosiasi, tetapi tidak pernah menghasilkan kesepakatan.

Meskipun demikian, upaya untuk mencapai kesepakatan dengan Belanda terus berlanjut, dan Gedung Linggarjati terpilih sebagai tempat yang paling netral untuk memfasilitasi perundingan tersebut.

Keputusan untuk menggunakan Linggarjati sebagai tempat perundingan bukanlah kebetulan. Usulan tersebut berasal dari Maria Ulfah Santoso, tokoh berpengaruh dan merupakan anak dari R Mohamad Ahmad (Bupati Kuningan periode 1921-1940).

Dipilihnya Linggarjati sebagai tempat perundingan merupakan langkah yang tepat, karena lokasinya dianggap strategis, sehingga memungkinkan perundingan berlangsung dengan lancar.

Pada saat itu, keamanan di wilayah Linggarjati sudah dijamin serta gejolak di tengah masyarakat pribumi diredam agar tidak memantik gerakan penolakan atas adanya perundingan Indonesia dengan Belanda.

Selama perundingan, Presiden Soekarno telah memberikan mandat kepada Sutan Syahrir untuk memimpin delegasi Indonesia dalam “perang diplomatik” di Linggarjati.

Sutan Syahrir bersama koleganya, yaitu AK Gani, Susanto Tirtoprojo, dan Mohammad Roem berupaya keras merumuskan dasar-dasar kesepakatan. Syahrir bahkan harus menginap di tempat terpisah, agar strategi diplomasi itu tidak bocor atau diketahui pihak Belanda.

Sebagian besar delegasi Indonesia itu menetap sementara di sebuah bangunan yang lokasinya tidak jauh dari Gedung Linggarjati. Nantinya bangunan tersebut dikenal sebagai Gedung Syahrir.

Dalam Perundingan Linggarjati, Belanda mengirim Wim Schermerhorn sebagai ketua delegasi beserta beberapa anggota, yakni Max Von Poll, HJ Van Mook, serta F de Baer.

Perundingan selama lima hari yang dimediasi oleh Lord Killearn itu berlangsung sengit, panas, dan kedua negara selalu mengejar kepentingan masing-masing.

Pertemuan itu bahkan sempat dihentikan sementara, untuk mendinginkan suasana. Seiring berjalannya waktu, negosiasi panjang dan melelahkan itu mencapai babak akhir. Perundingan Linggarjati menghasilkan sedikitnya 17 pasal yang isinya lebih condong merugikan Indonesia.

Pokok utama perjanjian tersebut menekankan kalau Belanda hanya mengakui secara de facto wilayah Indonesia hanya terdiri dari Sumatera, Jawa, dan Madura, serta pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS).

RIS itu nantinya harus bergabung sebagai negara persemakmuran di bawah Kerajaan Belanda. Isi perjanjian lainnya, Belanda harus meninggalkan Indonesia selambat-lambatnya pada 1 Januari 1949.

Beberapa bulan usai negosiasi di Linggarjati, tepatnya pada 25 Maret 1947, isi dari perjanjian tersebut ditandatangani dalam sebuah upacara kenegaraan di Istana Negara Jakarta.

Meskipun hasilnya tidak sesuai harapan, nyatanya pihak Belanda tetap mengingkari isi perjanjian itu, bahkan mereka melakukan konfrontasi militer ke wilayah Indonesia dengan membonceng nama besar Sekutu.

Pertemuan di Gedung Linggarjati telah menjadi titik balik bagi Indonesia, karena setelahnya kedaulatan bangsa diakui di mata dunia.

Gedung Linggarjati telah menjadi ikon wisata bersejarah di Kabupaten Kuningan, bisa mendatangkan turis domestik maupun wisatawan asing, terutama keturunan dari para delegasi Belanda.

Dari beberapa arsip dan dokumentasi yang dihimpun menunjukkan kalau orang-orang dari Belanda itu merasa terkesan dan antusias saat berkunjung ke Gedung Linggarjati. Interaksi itu mencerminkan upaya damai antarnegara.

Gedung Linggarjati tidak hanya menjadi saksi bisu dari peristiwa bersejarah tersebut, namun menjadi simbol penting dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.

 

Sumber Sejarah Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *