Gugurny Dyah Pitaloka Citarasemi Bunuh Diri Akibat Perang Bubat

Artikel . suararadarcakrabuana.com – Dyah Pitaloka Citarasemi adalah putri Maha Prabu Linggabuana, dari Kerajaan Galuh-Sunda bersatu, putri inilah yang akan dikawinkan dengan Hayam Wuruk Raja Majapahit. Ketika sampai Di Bubat, Rombongan Pengantin dikecewakan, sebab Gajah Mada mengehendaki rombongan Raja Sunda yang membawa Putri menyerahkan Putri tersebut sebagai tanda takluk. Hal ini jelas membuat marah Raja dan Patih Sunda.

Mereka menolak dan memaki Gajah Mada agar jangan banyak omong besar, serta memerintahkan Gajah Mada untuk mendatangkan Hayam Wuruk untuk menyambut pengantin, namun Gajah Mada yang didukung Bre Wengker (Kelak Menjadi Mertua Hayam Wuruk) menolak. Maka secara tiba-tiba, setelah Gajah Mada pergi dari Bubat, ia membawa bala tentara Majapahit yang cukup besar, Pasukan Majapahit menyerang Rombongan Sunda yang hanya terdiri dari beberapa Ratus orang saja.

Perang tak seimbang pecah, satu demi satu pasukan Sunda wafat, dan bahkan Maharaja Prabu Linggabuanapun wafat setelah sebelumnya berperang dengan gagah perwira. Mendapati ayah dan seluruh pasukan Sunda wafat, Dyah Pitaloka yang tidak sudi dijadikan sebagai tawanan memilih bunuh diri.

Akibat ketegangan ini terjadi pertempuran antar rombongan kerajaan Sunda melawan tentara Majapahit. Rombongan kerajaan Sunda berniat untuk bela pati melakukan puputan demi membela kehormatan mereka di Lapangan Bubat. Meskipun memberikan perlawanan dengan gagah berani, rombongan kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya gugur dalam kepungan tentara Majapahit. Hampir seluruh rombongan kerajaan Sunda tewas dalam tragedi ini. Tradisi dan kisah-kisah lokal menyebutkan bahwa dalam kesedihan dan hati yang remuk redam, Sang Putri melakukan bunuh diri untuk membela kehormatan dan harga diri negaranya.

Menurut tradisi, kematian Dyah Pitaloka diratapi oleh Hayam Wuruk serta segenap rakyat Kerajaan Sunda yang kehilangan sebagian besar keluarga kerajaannya. Oleh masyarakat Sunda kematian Sang Putri dan Raja Sunda dihormati dan dipandang sebagai suatu keberanian dan tindakan mulia untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya.

Ayah Sang Putri, Prabu Maharaja Lingga Buana disanjung dan dihormati oleh masyarakat Sunda dengan gelar “Prabu Wangi” (Bahasa Sunda: Raja yang memiliki nama yang harum) karena tindakan heroiknya membela kehormatan negaranya melawan Majapahit. Keturunannya, raja-raja Sunda yang kemudian, diberi gelar “Siliwangi” (dari kata Silih Wangi dalam bahasa Sunda berarti: Penerus Prabu Wangi).

Tragedi ini sangat merusak hubungan antara kedua kerajaan ini yang berakibat permusuhan hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan kedua negara ini tidak pernah pulih kembali seperti sediakala. Sementara itu di kraton Majapahit, Gajah Mada menghadapi permusuhan dan ketidakpercayaan, karena tindakannya atas dasar fakta kedekatan kekerabatan Dyah Pitaloka dan menjalankan keinginan Ayahanda Hayam Wuruk (Krtawarddhana) tersebut, namun berakibat kurang baik kepada terlukainya perasaan Raja Hayam Wuruk.

Kisah Putri Dyah Pitaloka dan Perang Bubat menjadi tema utama dalam Kidung Sunda. Catatan sejarah mengenai peristiwa Pasundan Bubat disebutkan dalam Pararaton, akan tetapi sama sekali tidak disinggung dalam naskah Nagarakretagama yang merupakan sumber primer UNESCO The Memory of the World Register for Asia/Pasific dan memiliki informasi lebih kuat, karena Nagarakretagama ini ditulis tahun 1365 (periode kekuasaan Hayam Wuruk).

Menurut beberapa sejarawan menyebut bahwa Kidung Sunda digunakan sebagai sumber sejarah sekunder ataupun tersier, karena berbagai fakta sejarah didalamnya tidak sesuai dengan sumber-sumber lain yang lebih kredibel seperti Prasasti. Disamping melihat periode penulisan Kidung Sunda pada abad ke – 19 yang merupakan masa munculnya beberapa karya sastra kontroversia

 

Refaksi : Rakhmat sugianto.SH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *