Kisah Kentring Manik Mayang Sunda

 

Artikel Sejarah. suararadarcakrabuana.com – Kentring Manik Mayang Sunda adalah putri dari Prabu Susuku Tunggal dari Kerajaan Sunda (Pakuan). Putri ini punya kakak yang gagah perwira namanaya Prabu Amuk Marugul.

Kentring Manik Mayang Sunda kemudian menikah dengan Raden Pamanah Rasa (Prabu Siliwangi), Putra Mahkota Kerajaan Galuh (Kawali)

Pada Tahun 1482, Kerajaan Sunda dan Galuh kembali disatukan (Membentuk Pajajaran) dan dalam hal ini Kentring Manik Mayang Sunda dijadikan sebagai Permaisuri.

Dari hasil perkawinannya dengan Sri Baduga Maharaja (Raden Pamanah Rasa) Mayang Sunda memperoleh 3 orang Keturunan, yaitu (1) Surawisesa (2) Surasowan, dan (3) Surawati.

Keturunan Kenting Manik Mayang Sunda dari Jalur Surawisesa kelak akan menjadi Raja-Raja Pajajaran pengganti Prabu Siliwangi.

Dikaitkan dengan sejarah Tatar Sunda, Dewi Kentring Manik adalah permaisuri Kerajaan Pajajaran, putri dari Prabu Susuk Tunggal yang dinikahi Prabu Siliwangi.

Konon Dewi Kentring Manik Mayang Sunda kerap mengunjungi daerah-daerah terpencil kerajaan dengan didampingi beberapa orang pengawalnya. Kedatangannya ke daerah-daerah tersebut biasanya berhubungan dengan adanya pembukaan daerah baru. Dan dalam setiap pembukaan daerah baru tersebut ditandai dengan terlebih dahulu mewujudkan sebuah sumur cikahuripan.

Istilah Sumur Bandung sendiri sering pula dikaitkan dengan makna kata bandung yang berarti rahim ibu sebagai sebuah anugerah yang diberikan Sang Maha Pencipta terhadap makhluk bernama wanita. Rahim ibu inilah yang merupakan titik awal keberangkatan kehidupan manusia, maka sudah sepantasnya manusia selalu ingat akan kehadiran seorang ibu dan senantiasa menghormatinya.

Keberadaaan Sumur Bandung adalah bentuk penghormatan kepada eksistensi perempuan dalam konteks setiap pembentukan kawasan baru, maka harus diresmikan oleh ibu negara. Itulah sebabnya, keberadaan Sumur Bandung selalu dikaitkan dengan nama Dewi Kentring Manik Mayang Sunda, sebagai ibu negara pada masa itu.

Sumur Bandung dalam perkembangan selanjutnya oleh masyarakat setempat dianggap sebagai sumur keramat. Karena adanya nilai keramat ini, atau nilai-nilai sugestif yang berasal dari para leluhurnya, baik dari tokoh sejarah pendirinya maupun nilai-nilai budaya tradisi yang pernah hidup pada masanya, maka wajar kemudian muncul upaya pelestarian nilai-nilai budaya tradisi dan penghormatan kepada tokoh sejarah yang terkandung di dalamnya.

Tahun kepindahan ibukota Kabupaten Bandung dihitung sebagai tahun berdirinya Kota Bandung.  Sumur Bandung sebetulnya ada dua. Lokasi sumur pertama terletak di lantai dasar Gedung PLN Distribusi Jawa Barat, Jalan Asia Afrika Bandung. Warga masyarakat banyak yang mengunjungi Sumur Bandung untuk mengambil airnya karena diyakini air tersebut sangat mujarab untuk mengobati berbagai penyakit.

Aula tempat Sumur Bandung berada, dinamakan Bale Sumur Bandung. Menurut kuncen Sumur Bandung, Kusnadi (52), semula nama yang disiapkan adalah Graha Sumur Bandung, namun sehari sebelum diresmikan dewi penunggu sumur membisikkan agar diganti menjadi Bale Sumur Bandung. “Pesan gaib itu lalu kami sampaikan kepada pimpinan. Dan ternyata pimpinan menyetujui perubahan nama itu,” tuturnya.

Lokasi Sumur Bandung kedua terletak di bawah Gedung Miramar yang berjarak kurang lebih 20 meter dari Gedung PLN.  Bangunan bekas pertokoan lima lantai ini kini telah diratakan dengan tanah.

Dulu Pemerintah Kota Bandung pernah menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta untuk dikelola menjadi komplek pertokoan modern. Sebab dilihat dari segi bisnis, lokasi gedung Miramar sangat strategis. Namun, rencana itu tertunda hingga kini. Bahkan setelah berkali-kali ditenderkan, tetap tak ada investor yang mau membuka usaha di situ.
Apa sebab ? Ada keyakinan, gagalnya mengubah gedung Miramar menjadi pertokoan modern, karena adanya Sumur Bandung yang dihuni kekuatan dari dimensi gaib.

Keberadaan  dewi Kentringmanik sebagai pelindung Kota Bandung dipercaya berpengaruh dalam menyingkirkan energi negatif. Sehingga ketika kondisi politik tanah air sedang bergejolak dan dimana-mana terjadi kerusuhan, Bandung sebagai salah satu dari lima kota terbesar di tanah air, nyaris tak tersentuh. Rame iya, tapi tetap terkontrol.

Selain itu ada sejarah lain.  Menurut almahum Haryoto Kunto dalam buku Semerbak Bandung, sebelum kota Bandung berubah rupa seperti saat ini, dahulu ditemukan banyak kuburan.
“Orang Bandung tempo dulu, mengubur anggota keluarganya yang meninggal di halaman rumah,” tuturnya dalam buku itu. Penduduk Bandung baheula, katanya, sangat meyakini falsafah kuburan sebagai tempat yang tenang dan damai.

Tidak heran bila setiap halaman rumah selalu ada kuburannya. Kondisi itu bertahan hingga tahun 1906, ketika kemudian pemerintah Belanda mengeluarkan larangan mengubur mayat di halaman rumah. Jadi sebenarnya, di tengah hiruk pikuk Bandung, di bawahnya merupakan kuburan-kuburan penduduk Bandung tempo dulu. Selain karena keberadaan dewi Kentringmanik, keadaan itu pula yang menyebabkan Bandung terasa sejuk dan adem ayem. Wallahualam bishawab.

Penulis Redaksi : Rakhmat sugianto.SH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *