Kisah Pilu Sang Putri Dyah Pitaloka Citraresmi

 

Artikel. suararadarcakrabuana.com – Dyah Pitaloka Citraresmi atau Citra Rashmi, putri Kerajaan Sunda Galuh yang lahir tahun 1340 dan wafat pada 1357, adalah seorang putri yang dikisahkan dalam Pararaton. Ia dijodohkan dengan Hayam Wuruk, raja Majapahit yang ingin menjadikannya ratu. Namun, dalam peristiwa Perang Bubat, ia memilih mengakhiri hidupnya setelah ayah dan pengiringnya gugur. Dyah Pitaloka dikenang sebagai wanita yang elok rupanya.

Hayam Wuruk, sang raja Majapahit, berkeinginan kuat untuk mempersunting putri Citra Rashmi (Pitaloka) berdasarkan pertimbangan politik. Putri ini merupakan anak dari Prabu Maharaja Lingga Buana dari Kerajaan Sunda. Dalam Kitab Pararaton disebutkan bahwa Hayam Wuruk mengirim Patih Madhu ke Sunda untuk melamar sang putri demi pernikahan kerajaan.

Menurut sumber-sumber lain seperti Wim Van Zaten, seorang Antropologis dari Universitas Leiden, dan J Noorduyn, wilayah Jawa dianggap lebih maju dalam budaya dan pendidikan agama oleh masyarakat Sunda. Banyak orang Sunda yang belajar di Jawa dan mengambil beberapa aspek budaya Jawa. Hal ini tercermin dalam Carita Parahyangan yang menyatakan bahwa banyak orang Sunda yang pergi ke Jawa karena putri-putri mereka tidak ingin menikah dengan pria Sunda.

Raja Sunda melihat perjodohan ini sebagai kesempatan untuk mempererat hubungan dengan Majapahit yang besar dan makmur. Dengan hati gembira, ia memberikan restu dan mengantarkan putrinya ke Majapahit untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk.

Pada tahun 1357, rombongan kerajaan Sunda tiba di Majapahit dan mendirikan pesanggrahan di Lapangan Bubat di utara Trowulan, ibu kota Majapahit. Mereka menunggu sambutan dari Majapahit dan upacara pernikahan yang layak.

Namun, kedatangan calon permaisuri ini menimbulkan dilema bagi Majapahit. Berdasarkan catatan dari Pustaka Rajyarajya dari Cirebon, yang merupakan bagian dari Naskah Wangsakerta, Raden Wijaya, kakek Hayam Wuruk, adalah putra Rakyan Jayadarma yang menikah dengan Dyah Lembu Tal. Rakyan Jayadarma, yang gugur dalam perebutan kekuasaan, adalah putra mahkota Sunda dari Prabu Guru Darmasiksa. Karena itu, Hayam Wuruk dianggap masih memiliki hubungan kekerabatan dengan calon permaisuri. Gajah Mada kemudian menyampaikan kepada rombongan Sunda bahwa pernikahan tidak bisa dilangsungkan. Merasa terhina, rombongan Sunda memilih berperang dengan Majapahit untuk menjaga kehormatan.

Di sisi lain, Agus Aris Munandar, seorang Arkeolog Indonesia, menafsirkan dari kisah Panji Angreni bahwa Krtawarddhana, ayah Hayam Wuruk, berkeberatan dengan pernikahan tersebut karena Hayam Wuruk telah dijodohkan dengan Indudewi. Krtawarddhana memerintahkan Gajah Mada untuk membatalkan pernikahan.

Selain itu, ada informasi yang menyebutkan bahwa Gajah Mada melihat peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menundukkan Sunda di bawah Majapahit. Raja Sunda sangat marah dan memilih melawan Majapahit untuk menjaga kehormatan.

Akibatnya, terjadi pertempuran antara rombongan Sunda dan tentara Majapahit. Rombongan Sunda bertekad untuk mati demi kehormatan di Lapangan Bubat. Meski berjuang dengan berani, mereka akhirnya gugur. Hampir semua rombongan Sunda tewas dalam tragedi tersebut. Kisah ini menggambarkan kesedihan yang mendalam, dan sang Putri memilih bunuh diri untuk menjaga kehormatan dan harga diri negaranya.

Tradisi mengenang kematian Dyah Pitaloka sebagai kehilangan besar bagi Kerajaan Sunda. Masyarakat Sunda menghormati sang Putri dan ayahnya, Prabu Maharaja Lingga Buana, yang diberi gelar “Prabu Wangi” karena keberaniannya. Tragedi ini merusak hubungan antara Sunda dan Majapahit, yang tidak pernah pulih sepenuhnya. Di Majapahit, Gajah Mada menghadapi permusuhan karena tindakannya yang berdampak pada perasaan Hayam Wuruk.

 

Redaksi : Rakhmat sugianto.SH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *