Menelusuri Sejarah Dan Mitos Candi Gunung Kawi, Bali

Artikel. Suararadarcakrabuana.com – Candi Gunung Kawi, juga dikenal sebagai Candi Tebing Gunung Kawi, merupakan salah satu situs bersejarah yang paling menarik di Bali. Terletak di tepi Sungai Pakerisan, di Dusun Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali.

Candi ini sangat unik karena tidak dibangun menggunakan batu bata merah atau batu gunung seperti candi pada umumnya. Sebaliknya, Candi Gunung Kawi dipahat langsung di dinding tebing batu padas, menciptakan tampilan yang luar biasa di tengah pemandangan alam yang indah.

Nama “Gunung Kawi” berasal dari dua kata: Gunung, yang berarti pegunungan, dan Kawi, yang berarti pahatan, sehingga nama ini menggambarkan candi yang dipahat di tebing gunung.

Candi ini berada sekitar 40 kilometer dari Denpasar, atau sekitar satu jam perjalanan menggunakan mobil. Dari Kota Gianyar, jaraknya sekitar 21 kilometer, yang dapat ditempuh dalam waktu setengah jam.

Bagi wisatawan yang tidak membawa kendaraan pribadi, ada opsi menggunakan taksi, bus pariwisata, atau jasa agen perjalanan dari Denpasar maupun Gianyar.

Sejarah dan Asal Usul diperkirakan, Candi Gunung Kawi dibangun pada abad ke-11 Masehi, pada masa pemerintahan Raja Udayana dari Dinasti Warmadewa hingga masa kepemimpinan anaknya, Raja Anak Wungsu.

Raja Udayana dikenal sebagai salah satu raja besar di Bali, dan melalui pernikahannya dengan Gunapriya Dharma Patni dari Jawa, ia memiliki dua anak Erlangga dan Anak Wungsu. Erlangga kelak menjadi raja di Jawa Timur, sementara Anak Wungsu memerintah di Bali, di masa inilah diyakini candi tebing ini dibangun.

Salah satu bukti arkeologis yang mendukung teori ini adalah tulisan pada pintu-pintu semu yang menggunakan aksara Kediri, bertuliskan haji lumah ing jalu, yang berarti sang raja yang disemayamkan di Jalu, yang diduga merujuk pada Raja Udayana.

Kata “jalu,” yang berarti taji, juga bisa dikaitkan dengan keris atau Sungai Pakerisan yang membelah dua tebing tempat candi-candi ini berada. Candi ini ditemukan kembali oleh peneliti Belanda pada sekitar tahun 1920.

Menurut legenda rakyat setempat, Candi Tebing Gunung Kawi tidak dibuat oleh tangan manusia biasa, melainkan oleh seorang tokoh sakti bernama Kebo Iwa.

Dikisahkan bahwa Kebo Iwa menggunakan kuku-kukunya yang tajam untuk memahat tebing batu cadas di tepi Sungai Pakerisan, dan menyelesaikan candi yang megah ini hanya dalam satu hari satu malam—suatu pekerjaan yang mustahil bagi orang biasa.

Keunikan Arsitektur membuat pengunjung Candi Gunung Kawi harus menuruni sekitar 315 anak tangga yang berliku menuju tepi Sungai Pakerisan. Dikelilingi oleh rerimbunan pohon dan aliran air yang jernih, perjalanan ini memberikan suasana yang damai dan tenteram.

Setelah tiba di kompleks candi, wisatawan akan menemukan dua kelompok candi yang dipisahkan oleh aliran sungai. Di sebelah barat sungai terdapat empat candi yang menghadap ke timur, sementara di sisi timur terdapat lima candi yang menghadap ke barat.

Satu lagi daya tarik dari kompleks candi ini adalah kolam pemandian dan pancuran air yang terletak di bagian barat. Dinding batu yang dipahat dengan cermat membentuk lengkungan-lengkungan dalam yang berfungsi melindungi candi dari erosi.

Selain candi-candi utama, ada juga sebuah wihara yang dipahat di tebing batu. Wihara ini memiliki pelataran, ruangan-ruangan kecil, jendela, dan lubang sirkulasi udara yang memungkinkan sinar matahari masuk—tempat ini kemungkinan dulu digunakan sebagai ruang meditasi para pendeta.

Di sebelah barat kompleks candi, ada situs lain yang disebut Geria Pedanda, yang sering disebut sebagai “Makam ke-10” oleh para ahli. Berdasarkan inskripsi singkat dengan aksara Kediri yang berbunyi “rakryan,” tempat ini diyakini sebagai persemayaman seorang pejabat tinggi kerajaan.

Jika melanjutkan perjalanan ke arah tenggara melewati sawah hijau, pengunjung akan menemukan ceruk-ceruk tempat pertapaan yang mungkin belum sepenuhnya selesai dikerjakan.

Candi Gunung Kawi tak hanya menawarkan sejarah yang mendalam, tetapi juga panorama alam yang menakjubkan, menjadikannya salah satu destinasi wisata yang memikat di Bali.

 

Penulis Redaksi : Rakhmat sugianto.SH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *