Raja Sumedang Menculik Istri Penembahan Ratu Cirebon

Geusun Ulun adalah seorang Raja dari Kerajaan Sumedang Larang bersama senopatihnya Jayaperkasa membawa kabur Ratu Harisbaya yang merupakan istri Panembahan Ratu penguasa istana Kerajaan Cirebon. Sebagai Kerajaan Islam Berdaulat di tanah Sunda jelas saja harga diri Panembahan Ratu sebagai Raja Cirebon merasa terinjak-injak dengan terjadinya peristiwa yang sangat memalukan tersebut.

Usai peristiwa memalukan itu terjadi, maka Panembahan Ratu lalu mengumumkan perang terhadap kerajaan Sumedang.  Mendengar dapat tantangan dari Cirebon ternyata kerajaan Sumedang tidak memperdulikan, karena bagi Geusun Ulun Ratu Harisbaya harus menjadi istrinya.

Awal kisah pertempuran antara Cirebon dan Sumedang disebabkan oleh dibawa larinya Ratu Cirebon. Sebelum terjadinya peristiwa dibawa larinya Ratu Harisbaya oleh Geusun Ulun yang menyebabkan perang antara kedua kerajaan tetangga ini didahului oleh kisah yang amat panjang, yaitu kisah dimana Panembahan Ratu, Geusun Ulun dan Harisbaya semasa masih muda.

Ketiganya adalah merupakan murid dari Hadiwijaya (Jaka Tingkir/Sultan Pajang ), Sunan Gunung Jati merupakan buyut Panembahan Ratu, dikisahkan mengirimkan Panembahan Ratu untuk belajar Ketatanegaraan kepada Jaka Tingkir di Pajang, begitu pun dengan Pangeran Santri, beliau mengirimkan anaknya Geusun Ulun ke Pajang untuk menuntut ilmu disana, sementara Harisbaya seorang puteri Madura yang mengabdikan diri di Pajang.

Dalam menjalankan pembelajaran ilmu ketatanegaraan ternyata prestasi Panembahan Ratu di Pajang terlihat begitu gemilang, setelah dirasa cukup mumpuni dalam menguasai ilmu ketatanegaraan, Hadiwijaya pun menikahkan anak perempuannya Ratu Mas Pajang/Ratu Lampok Anggroros dengan Panembahan Ratu, tujuannya untuk mengikat tali persaudaraan dengan Kerajaan Cirebon. Kelak ketika Panembahan Ratu menjadi Raja Cirebon Ratu Mas Pajang kemudian dijadikan permaisuri Kerajaan Cirebon.

Sementara itu, Geusun Ulun yang dianugerahi wajah tampan, ternyata terlibat cinta lokasi dengan Harisbaya, keduanya saling mencintai. Kisah percintaan Geusun Ulun dan Harisbaya kemudian ngambang, ketika dalam suatu waktu Geusun Ulung Pulang ke Sumedang untuk menjadi Raja menggantikan ayahandanya yang telah mangkat.

Baik Panembahan Ratu, maupun Geusun Ulun kini menjadi Raja di negaranya masing-masing, keduanya juga telah berumah tangga, sementara di Pajang Harisbaya selalu mengharap jodoh dengan Geusun Ulun tanpa kepastian.

Setelah beberapa lamanya waktu, tersiar kabar bahwa di Pajang Hadiwijaya mangkat setelah terjatuh dari Gajah tempurnya, pada saat menghadapi pemberontakan yang di lancarkan Sutawijaya, anak Ki Ageng Pamanahan Adipati Mataram. Mendapati mertuanya telah mangkat Panembahan Ratu selaku Sultan Cirebon kemudian menghadiri pemakaman Hadiwijaya di Pajang.

Tahta Pajang setelah kemangkatan Hadiwijaya kemudian diserahkan kepada Arya Panggiri, Sikap yang dimunculkan Panembahan Ratu dalam menanggapi pemberontakan Mataram terhadap Pajang ini adalah sikap kontra, beliau tetap mendukung Pajang dibawah Arya Panggiri.

Atas sikap Panembahan Ratu yang mendukung Arya Panggiri maka kemudian Arya Panggiri menghadiahkan Harisbaya kepada Penembahan Ratu. Setelah peristiwa itu, maka resmilah Harisbaya menjadi istri kedua Panembahan Ratu.

Awal mulanya perkawinan Panembahan Ratu dengan Harisbaya berjalan lancar, bahkan tidak lama kemudian Harisbaya mengandung anak dari Panembahan Ratu. Kisah kebahagiaan Panembahan Ratu dan Harisbaya kemudian menjadi buyar, ketika pada suatu waktu Gesun Ulun bersama keempat senopatih nya berkunjung ke Cirebon. Dalam kunjungan kenegaraan yang diperkirakan memakan waktu berhari-hari itu, rupanya perjumpaan Geusun Ulun dan Harisbaya tak terelakan.

Keduanya kemudian terlibat cinta lokasi untuk yang kedua kalinya, tapi kali ini Harisbaya sudah menjadi istri orang, Geusun Ulunpun sebenarnya sadar betul dengan keadaan itu, adakalanya beliau menjaga jarak agar sakit dalam hatinya tak begitu menggigit.

Jika Geusun Ulun mampu menahan cinta yang melonjak, maka tidak demikian dengan Harisbaya, ia memilih menerjang rasa malu demi berjumpa dengan Geusun Ulun, kekasih masa lalunya. Dalam pertemuan terakhir sebelum Geusun Ulun pulang kembali ke Sumedang. Rupanya Harisbaya memohon dengan berlinang air mata agar Geusun Ulun membawa serta dirinya ke Sumedang. Tentu saja hal tersebut ditolak oleh Geusun Ulun.

Karena cinta rupanya buta, Geusun Ulun merasa gelisah, dalam fikirnya terbayang permintaan Harisbaya yang diringi linangan air mata itu, ia pun kemudian mendiskusikan dengan Senopatinya Jayaperkasa tentang duduk persoalan permintaan Harisbaya tersebut.

Anehnya Jayaperkasa justru menyambut baik, bahkan ia menganjurkan agar Rajanya membawa lari Ratu Harisbaya ke Sumedang. Mendapati anjuran Senopatih kepercayanya itu maka semakin butalah cinta Geusun Ulun terhadap Harisbaya.

Jayaperkasa adalah seorang Senopati dari Kerajaan Sumedang, ia merupakan mantan pembesar Kerajaan Pajajaran, beliau dahulu merupakan bagian dari tim pengantar mahkota Bhinokasih Kerajan Pajajaran selepas kerajaan itu ditaklukan Cirebon dan Banten.

Kerajaan Sumedang adalah merupakan pewaris Kerajaan Pajajaran setelah keruntuhanya, karena Raja Pajajaran terakhir sebelum ditaklukan Cirebon dan Banten menunjuk Sumedang Larang sebagai pewaris sahnya, sebab itulah Raja Pajajaran mengirimkan mahkotanya ke Sumedang Larang

ternyata Jayaperkasa menghendaki perang dengan Cirebon, karena bagi Jayaperkasa Cirebon harus kembali dikuasai, apalagi waktu itu Cirebon dianggapnya lemah karena sekutunya Pajang telah menghadpai masalah pemberontakan Mataram di dalam negerinya. Sebab itulah dia memanfaatkan cinta buta Rajanya untuk memantik peperangan dengan Cirebon.

Geusun Ulun bersama senopatihnya kemudian membawa lari Harisbaya, menuju Sumedang. Seluruh penghuni istana bahkan rakyat Cirebon pun kemudian geger, sebab istri Rajanya dibawa lari Raja dari Kerajaan lain. Selepas dibawa larinya Harisbaya ke Sumedang, kemudian Panembahan Ratu memproklamirkan perang. Jayaperkasa menyambut dengan suka cita pengumuman perang itu, sebab begitulah kehendaknya.

Perang kemudian meletus, Cirebon kemudian mengirimkan tentaranya untuk menggempur Sumedang, dengan semangat berapi-api Patih Jayaperkasa melawan gempuran-gempuran Cirebon. Perang sengit antar dua kerajaan tetangga ini baru Reda setelah Cirebon berhasil menewaskan Patih Jayaperkasa.

Selepas meninggalnya Jayaperkasa rupanya kemudian ada kesepakatan damai antara kedua kerajaan, hal tersebut dimungkinkan timbul karena kesadaraan dari pejabat-pejabat tinggi di Kerajaan Sumedang, sebab tidak semuanya para pejabat tinggi Sumedang setuju dengan tindakan Jayaperkasa.

Setelah melakukan beberapa perundingan antar kedua kerajaan Islam Sunda tersebut dan Panembahan ratu mengetahui kalau Harisbaya lah yang meminta dilarikan, maka untuk kemudian Panembahan Ratu mencerai kan Harisbya, akan tetapi imbalan dari talaq yang dijatuhkan panembahan Ratu itu harus ditebus oleh Sumedang dengan menyerahkan wilayah Sindangkasih (Kini Kabupaten Majalengka) kedalam kekuasaan Kerajaan Cirebon, dari pihak Kerajaan Sumedang pun kemudian menyanggupi permintaan dari kerajaan Cirebon.

Untuk mengakhiri peperangan dan permusuhan dengan Cirebon, Geusun Ulun kemudian berjanji bahwa anak Panembahan Ratu yang masih dalam kandungan Harisbaya, kelak akan dijadikan Raja Sumedang setelah sepeninggalnya. Setelah mendapatkan keputusan dari perundingan yang menguntungkan Cirebon itu, maka untuk selanjutnya permusuhan antara kedua Kerajaan Sunda resmi berakhir.

Sementara itu, untuk menghindari konflik dengan keluarganya, Geusun Ulun kemudian membagi-bagikan waris kepada anak-anak dari istrinya yang lain berupa pembagian wilayah dan jabatan Adipati di seluruh wilayah kerajaan Sumedang Larang.

Setelah peristiwa itu kemudian Geusun Ulun hidup bahagia dengan  Ratu Harisbaya yang merupakan kekasih hatinya, pernikahan beliau dengan Harisbaya terjadi pada tanggal 2 bagian terang bulan waisak tahun 1509 saka, bertepatan dengan tanggal 10 april 1587 masehi, atau 2 tahun setelah peristiwa dilarikanya Ratu Harisbaya dari Istana Cirebon. Bagi Geusun Ulun cinta lebih penting ketimbang Kerjaan Sumedang Larang dan seisinya.

Artikel ini di ambil dari beberapa naskah klasik, diantaranya naskah Pustaka Kertabumi, Babad Sumedang, dan Babad Limbangan. Selain itu kisah mengenai Ratu Harisbaya juga pernah diteliti oleh beberapa peneliti Eropa seperti Petrus de Roo de la Faille, Theodore van Deventer, H.J. de Graaf, Th. G. Pigeaud.

 

Redaksi : Rakhmat sugianto.SH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *