Samudra Pasai (Aceh) Porak Poranda Di Sebu Majapahit

Artikel. Suararadarcakrabuana.com – Hikayat Raja Pasai mengisahkan, salah satu penyebab Majapahit menyerang Kesultanan Samudera Pasai pada 1350 berawal dari ulah Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (bertahta sejak 1349). Sultan ini diceritakan sebagai raja berperangai buruk yang menjadi otak serangkaian tindakan keji, bermula di lingkungan kesultanan, lalu merembet ke luar hingga melukai martabat Majapahit.

Menurut Hikayat Raja Pasai, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dicitrakan sebagai pemimpin yang buruk. Dikisahkan, sang sultan ternyata menaruh berahi terhadap dua anak perempuannya sendiri, yaitu Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara. Beberapa kali gelagat tak pantas tersebut ketahuan oleh penghuni istana lainnya.

Sikap keterlaluan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir itu memantik desas-desus tak sedap. Anak sulung sang sultan yang juga putra mahkota, Tun Beraim Bapa, mengingatkan ayahnya agar menghentikan kelakuan tak patut tersebut.

Bukannya menahan diri, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir justru murka, bahkan mengancam Tun Beraim Bapa agar tidak mencampuri urusannya. Tun Beraim Bapa pun waspada dan berusaha sekuat tenaga dua saudara perempuannya dari kebuasan sang ayah yang tidak layak dijadikan panutan tersebut.

Merasa dilawan oleh anaknya sendiri, kemarahan Sultan Ahmad Malik Az-Zahir meledak. Ia lalu merencanakan niat jahat. Secara diam-diam, sang sultan mengutus orang untuk meracuni sang pangeran. Usaha itu berhasil. Tun Beraim Bapa yang kelak seharusnya melanjutkan singgasana ayahnya justru harus meregang nyawa lebih cepat.

Mengetahui sang kakak mati mendadak, Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara sangat bersedih hati sekaligus takut setengah mati terhadap ayah mereka sendiri. Maka, kedua putri Samudera Pasai itu pun memilih menyusul Tun Beraim Bapa, bunuh diri dengan meminum racun (Russell Jones, Hikayat Raja Pasai, 1999:35-56).

Dengan kekuasaannya yang nyaris tanpa batas, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir langsung menutup rapat kegemparan yang sempat terdengar di lingkungan kesultanan setelah tewasnya tiga anaknya tersebut. Ini dilakukan agar kabar buruk itu tidak menyebar luas, apalagi hingga ke luar kerajaan.

Tabiat biadab Sultan Ahmad Malik Az-Zahir kambuh lagi beberapa waktu berselang. Kali ini bermula dari hubungan asmara antara putra kedua sultan, Tun Abdul Jalil (adik kandung Tun Beraim Bapa) dengan seorang putri dari Kerajaan Majapahit yang bernama Raden Galuh Gemerencang.

Seharusnya, momen ini bisa dimanfaatkan untuk menjalin relasi yang lebih erat dengan Majapahit. Calon imperium yang berpusat di Jawa bagian timur itu memang sedang menatap masa gemilang seiring dinobatkannya Hayam Wuruk sebagai raja dengan gelar Maharaja Sri Rajasanagara, meneruskan tahta sang ibunda, Tribhuwana Wijayatunggadewi, pada 1350.

Ditambah lagi, Majapahit memiliki seorang mahapatih sekaligus panglima perang tertinggi yang namanya sudah terkenal, siapa lagi kalau bukan Gajah Mada. Saat ditunjuk sebagai mahapatih oleh Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi pada 1336, ia mengucapkan Sumpah Palapa sebagai tekad untuk menaklukkan sebagian besar wilayah Nusantara di bawah naungan Majapahit.

Namun, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir justru memantik konflik dengan Majapahit. Kecantikan Raden Galuh Gemerencang yang tidak lain adalah calon menantunya ternyata membuat sultan jatuh cinta. Kala itu, sang putri beserta para pengawalnya sedang bersiap untuk pergi ke Samudera Pasai untuk menemui sang pujaan hati.

Tak rela Raden Galuh Gemerencang diperistri putranya sendiri, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir pun menyiapkan siasat keji untuk Tun Abdul Jalil, sama seperti yang pernah dilakukan terhadap anak sulungya, Tun Beraim Bapa. Nyawa pangeran kedua pun dihabisi dan mayatnya ditenggelamkan ke laut.

Sementara itu, rombongan Raden Galuh Gemerencang akhirnya tiba di Samudera Pasai. Sang putri terkejut mendengar kabar dari orang-orang kepercayaannya Tun Abdul Jalil bahwa calon suaminya itu telah dibunuh atas perintah Sultan Ahmad Malik Az-Zahir.

Raden Galuh Gemerencang yang jiwanya terguncang jelas sangat sedih. Ia lalu menenggelamkan diri ke laut di mana jenazah Tun Abdul Jalil dibenamkan sebelumnya. Rombongan pengawal yang mengiringi sang putri segera kembali ke Jawa untuk melapor kepada Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada tentang kejadian tragis tersebut.

Hikayat Raja Pasai dalam bab yang sama melanjutkan cerita ini. Setelah mendapat laporan dari para pengiring Raden Galuh Gemerencang, putri Majapahit yang mengakhiri hidupnya di Samudera Pasai, juga kekejaman Sultan Ahmad Malik Az-Zahir, Raja Hayam Wuruk murka, begitupula dengan Gajah Mada.

Hayam Wuruk pun memerintahkan Gajah Mada untuk segera menghimpun pasukan dan bergegas berangkat ke ujung barat sana. Slamet Muljana (2005:140) dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara menuliskan dengan cukup rinci serangan dan siasat Gajah Mada ke Samudera Pasai ini. Singkat cerita, pertempuran pun tak terhindarkan. Majapahit ternyata lebih unggul dari tuan rumah.

Dalam situasi yang semakin gawat karena pasukan Majapahit kian merangsek ke pusat istana, Sultan Ahmad Malik Az-Zahir terpaksa menyelamatkan diri. Ia melarikan diri ke suatu tempat bernama Menduga yang berlokasi kira-kira 15 hari perjalanan dari ibukota Samudera Pasai (Jones, 1999: 57-65).

Serangan Majapahit itu menjadi awal dari keruntuhan Kesultanan Samudera Pasai di Aceh. Meskipun kerajaan Islam ini pada akhirnya masih bisa bertahan hingga bertahun-tahun ke depan, bahkan sempat berjaya pada era Sultanah Nahrasiyah Nahrisyyah (1406-1428), namun pada akhirnya Samudera Pasai runtuh juga.

 

Penulis Redaksi : Rakhmat sugianto.SH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *