Sejarah asal Usul Desa Kedung Dalem Cirebon

Artikel. suararadarcakrabuana.com – Berawal dari Alkisah Perkawinan Sunan Gunung Jati dengan dewi tala, putri Ki Gede Tepak Palimanan dikaruniai dua orang anak, yaitu Pangeran Surakaca dan Pangeran Pringgabaya.

Pangeran pringgabaya semula hidup di pengembaraan di daerah jawa tengah, kemudian pulang ke Cirebon. Di tengah perjalanan (di hutan alas roban pekalongan) ia bertemu dengan pangeran gesang, keturunan prabu Brawijaya dari majapahit yang memliki keris bernama si Gagak. Dalam melanjutkan perjalanannya, mereka bertemu dengan ular lempe, ular laut yang sangat berbisa di pantai laut jawa.

Pangeran Pringgabaya berkelahi dengan ular lempe hingga ular tesebut dapat dikalahkannya. Setelah dibanting, Ular lempe kemudian berubah bentuk menjadi sebuah keris yaitu “si lemped”. Saat ini tangkai si lemped berada di desa bayalangu kidul, dan kerisnya di desa kapringan.

Setelah pangeran pringgabaya dan pangerang gesang tiba di keraton pakungwati Cirebon, mereka di tugaskan untuk tinggal di dua tempat yang berbeda.

Pangeran pringgabaya ditugaskan di daerah kapringan (sekarang termasuk kecamatan krangkeng, indramayu), dan pangeran gesang di gegesik (sekarang Gegesik kidul, kecamatan Gegesik kabupaten Cirebon), hingga mereka membangun pedukuhan masing-masing.

Pangeran gesang mempunyai tiga orang putra:

  1. Pangeran Durakhman ( Ki Ageng Guwa ).
  2. Pangeran Jagabaya ( Ki Ageng Jagapura).
  3. Nyi Mertasari ( Nyi Ageng Gegesik).

Pangeran Pringgabaya ditugaskan untuk tinggal di daerah Kapringan hingga ia membangun pedukuhannya. Pangeran Pringgabaya berputrakan Pangeran Dayalautan yang memiliki keturunan bernama Ki Maspa. Dan Ki Maspa mempunyai anak bernama Ki Warsiki. Dengan demikian Ki Warsiki adalah keturunan keempat Sunan Gunung Jati (cicit Pangeran Pringgabaya).

Sudah menjadi tradisi Keraton Pakungwati apabila setiap minggu para Ki Gede atau putra-putrinya wajib melaksanakan piket untuk menjaga barang-barang jimat di Gedong Jinem.

Ketika Ki Warsiki mendapat giliran piket bersama dengan Putri Megu anak Ki Gede Megu. Piket dilakukan dengan penuh tawa dan bercanda ria, sehingga menarik perhatian pinangeran keraton dan melaporkan keduanya jika telah melakukan pelanggaran kepada Sultan.

Sultan marah, Mereka dinikahkan kemudian mereka dibuang ke suatu daerah bernama Pesanggrahan dalam keadaan terikat tali satu sama lain. Tali itu tidak bisa dibuka karena diikat oleh kekuatan sang Sultan.

Kemudian, ada seorang lelaki penggembala kambing yang menemukan mereka. Diberikannya kupat kepada mereka oleh penggembala itu. Ajaibnya, tali yang mengikat mereka lepas.

Pergilah kalian berdua cari penghidupan.” Kata si penggembala.

Tibalah mereka disebuah tempat, lalu Ki Warsiki membuat kolam yang dalam, kebetulan disitu ada pohon gempol maka tempat itu dinamakan “Kedung Gempol”.

Kemudian Ki Warsiki bersama istrinya, Putri Megu, membangun pedukuhan yang maju. Setiap Sultan Cirebon Mbah Kuwu Sangkan atau Pangeran Cakra Buana berkeliling ke daerah, beliau sering menyempatkan singgah di tempat Ki Warsiki. Jika tiba waktu shalat, beliau mengambil air wudhu di sumur yang dalam itu.

Kemudian Ki Warsiki memberi nama pedukuhan itu “KEDUNG DALEM” yang artinya KEDUNG adalah kolam atau tempat singgah dan DALEM adalah dalam (jero) atau orang-orang keraton (abdi dalem). Jadi KEDUNG DALEM artinya tempat orang-orang keraton singgah di kolam yang dalam.

Ki warsiki dan putri megu dikaruniai dua orang anak yaitu:

  1. Pangeran Jaka Dolog atau Ki Slonto, tinggal di kapringan.
  2. Pangeran Jalaksana, tinggal di penganjang indramayu. Pangeran jalaksana menikah dengan putri penganjang.

Ki warsiki menikah lagi dengan putri bayalangu, tetapi tidak dikaruniai anak. Ki warsiki didamping kedua istrinya hidup bahagia dan tentram, sehingga saat membangun pedukuhan Kedung dalem yang maju dan penduduknya terus bertambah yang berdatangan dari pedukuhan lain, seperti dari Arjawinangun, Gegesik dan karangsembung. Ki warsiki memimpin dengan adil dan bijaksana, senatiasa menjalin hubungan kerja sama dengan pedukuhan lain.

Desa kedung dalem terletak kira-kira 30 km sebelah barat laut kota Cirebon, dan termasuk wilayah kecamatan GEGESIK, didirikan oleh Bekel Sal (H. Abdul Majid), pada tahun 1925.

Bekel Sal adalah seorang tuan tanah yang kaya raya. Ia mempunyai tanah yang sangat luas di daerah Karangampel, Kapetakan, Dukuh. Ia sering membayar Upeti kepada Residen Belanda di Cirebon dengan enam kwintal beras ketan dan dua puluh tujuh ekor sapi. Ia mendapat surat keputusan sebagai kepala desa atau Kuwu pada tahun 1925 dari residen belanda.

Sebelum menjadi kedungdalem, wilayah ini terdiri dari 4 bagian daerah, yaitu :

  1. Blok Santrok Lor, dulunya termasuk desa gegesik lor.
  2. Blok Santrok Kidul, dulunya termasuk desa gegesik wetan
  3. Blok Kedung Tengah, dulunya termasuk desa bayalangu kidul.
  4. Blok Kedung lor, dulunya termasuk desa bayalangu Lor.

Nama Santrok berasal dari kata (“nyanting”=nyanggrok atau menyangkut), yaitu ketika terjadi perang kedongdong banyak yang meninggal dan mayatnya terbawa hanyut di sungai ciwaringin.

Mayat-mayat itu tersangkut di suatu tempat yang akhirnya tempat itu disebut Santrog atau Santrok. Mayat-mayat itu di kubur dipekuburan Kibuyut Radegan atau kibuyut sar atau ki buyut bandung.

Disebut kibuyut bandung atau kibuyut sar karena di tempat itu (di sebelah sungai ciwaringin kedung dalem) terdapat kuburan buyut resijan yang berasal dari bandung, dan buyut sar (nyi sar. Nyi sar berasal dari bode, yang keduanya menetap di kedung dalem.

 

Dikutip dari berbagai sumber.

Penulis Redaksi : Rakhmat sugianto.SH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *