Bulan Juni merupakan salah satu bulan yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, kenapa dikatakan bersejarah? Karena dibulan inilah istilah Pancasila untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Soekarno.
Pancasila sebagai falsafah kehidupan bangsa Indonesia yang nilai-nilainya menjadi sumber untuk membangun karakter dan jati diri bangsa, proses kelahirannya melalui perenungan dan pemikiran yang mendalam dari para pendiri bangsa. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila merupakan kristalisasi nilai yang berasal dari nilai-nilai yang hidup dan berakar dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Nilai-nilai yang digali dan dirumuskan oleh para pendiri bangsa adalah sebagai nilai yang sangat fundamental dan universal yang mampu menjangkau kepentingan lintas bangsa. Oleh karena itu, Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia merupakan suatu cita-cita luhur dan landasan moral dari karakter bangsa yang ingin dicapai dan diwujudkan di dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Sayangnya beberapa waktu belakangan ini karakter bangsa yang berlandaskan Pancasila tersebut lambat laun mulai hilang, ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia itu sendiri. Konflik, adu domba, tawuran, kekerasan, kriminalitas, narkoba, seks bebas, perusakan rumah ibadah dan pelarangan menjalankan ibadah sudah sering kita temui. Masyarakat Indonesia seolah-olah mulai meninggalkan nilai-nilai luhur yang terdapat pada Pancasila.
Untuk mengenal lebih dalam lagi tentang Pancasila, maka dalam tulisan ini akan membahas tentang sejarah dan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Semoga dengan mengenal, mengingat lagi sejarah lahirnya Pancasila, dan mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, kita sebagai masyarakat Indonesia, dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, dalam melaksanakan kehidupan bernegara bisa jauh lebih baik, bisa jauh lebih merasa aman dan jadi lebih sejahtera.
PEMBAHASAN
- Sejarah Pancasila
- Periode Pengusulan Pancasila
Pancasila tidaklah lahir secara mendadak pada tahun 1945, Pancasila lahir melalui proses yang panjang, dengan didasari oleh sejarah perjuangan bangsa dan dengan melihat pengalaman bangsa lain di dunia. Perumusan konseptualisasi Pancasila dimulai pada masa persidangan pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dilaksanakan tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945.
BPUPKI dibentuk oleh pemerintahan pendudukan Jepang pada 29 April 1945 dengan jumlah anggota 60 orang. Badan ini diketuai oleh dr. Rajiman Wedyodiningrat yang didampingi oleh dua orang Ketua Muda (Wakil Ketua), yaitu Raden Panji Suroso dan Ichibangase (orang Jepang). BPUPKI dilantik oleh Letjen Kumakichi Harada, panglima tentara ke-16 Jepang di Jakarta, pada 28 Mei 1945. Sehari setelah dilantik, 29 Mei 1945, dimulailah sidang yang pertama dengan materi pokok pembicaraan calon dasar negara.
Menurut catatan sejarah, diketahui bahwa sidang tersebut menampilkan beberapa pembicara, yaitu Mr. Muh Yamin, Ir. Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Soepomo. Keempat tokoh tersebut menyampaikan usulan tentang dasar negara menurut pandangannya masing-masing. Meskipun demikian perbedaan pendapat di antara mereka tidak mengurangi semangat persatuan dan kesatuan demi mewujudkan Indonesia merdeka. Sikap toleransi yang berkembang di kalangan para pendiri negara seperti inilah yang seharusnya perlu diwariskan kepada generasi berikut, termasuk kita.
Tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muh. Yamin menyampaikan usulan dasar negara secara lisan yaitu: (1) Peri Kebangsaan; (2) Peri Kemanusiaan; (3) Peri Ketuhanan; (4) Peri Kerakyatan; dan (5) Kesejahteraan Rakyat. Sementara secara tulisan, Mr. Muh. Yamin menyampaikan usulan dasar negara, yaitu: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kebangsaan Persatuan Indonesia; (3) Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; (5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Pada tanggal 31 Mei 1945, Mr. Soepomo menyampaikan usulan dasar negara yaitu: (1) Persatuan; (2) Kekeluargaan; (3) Keseimbangan lahir dan batin; (4) Musyawarah; (5) Keadilan Rakyat. Sedangkan usulan dasar negara dari Ki Bagus Hadikusumo, pertama ialah konsep negara Indonesia merdeka adalah negara yang dijalankan atas kedaulatan rakyat, dan kedua memperjuangkan Islam sebagai fondasi hukum bagi negara Indonesia merdeka.
Tanggal 1 Juli 1945, giliran Soekarno yang menyampaikan usulan dasar negara. Pada hari itu, Ir. Soekarno menyampaikan lima butir gagasan tentang dasar negara sebagai berikut: (1) Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia; (2) Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan; (3) Mufakat atau Demokrasi; (4) Kesejahteraan Sosial; (5) Ketuhanan Yang Berkebudayaan.
Berdasarkan catatan sejarah, kelima butir gagasan itu oleh Soekarno diberi nama Pancasila. Selanjutnya, Soekarno juga mengusulkan jika seandainya peserta sidang tidak menyukai angka 5, maka ia menawarkan angka 3, yaitu Trisila yang terdiri atas (1) Sosio-Nasionalisme; (2) Sosio-Demokrasi; dan (3) Ketuhanan Yang Maha Esa. Soekarno akhirnya juga menawarkan angka 1, yaitu Ekasila yang berisi asas Gotong-Royong.
Setelah pidato Soekarno, sidang menerima usulan nama Pancasila bagi dasar filsafat negara (Philosofische grondslag) yang diusulkan oleh Soekarno, dan kemudian dibentuk panitia kecil 8 orang (Ki Bagus Hadi Kusumo, K.H. Wahid Hasyim, Muh. Yamin, Sutarjo, A.A. Maramis, Otto Iskandar Dinata, dan Moh. Hatta) yang bertugas menampung usul-usul seputar calon dasar negara. Kemudian, sidang pertama BPUPKI (29 Mei – 1 Juni 1945) ini berhenti untuk sementara.
- Periode Perumusan Pancasila
Selanjutnya BPUPKI melaksanakan sidang kedua. Hal terpenting yang mengemuka dalam sidang BPUPKI kedua pada 10 – 16 Juli 1945 adalah disetujuinya naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta. Piagam Jakarta itu merupakan naskah awal pernyataan kemerdekaan Indonesia.
Pada alinea ke- empat Piagam Jakarta itulah terdapat rumusan Pancasila sebagai berikut: (1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Naskah awal “Pembukaan Hukum Dasar” yang dijuluki “Piagam Jakarta” ini di kemudian hari dijadikan “Pembukaan” UUD 1945, dengan sejumlah perubahan di sana-sini. Ketika para pemimpin Indonesia sedang sibuk mempersiapkan kemerdekaan menurut skenario Jepang, secara tiba-tiba terjadi perubahan peta politik dunia.
Salah satu penyebab terjadinya perubahan peta politik dunia itu ialah takluknya Jepang terhadap Sekutu. Peristiwa itu ditandai dengan jatuhnya bom atom di kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945.
Sehari setelah peristiwa itu, 7 Agustus 1945, Pemerintah Pendudukan Jepang di Jakarta mengeluarkan maklumat yang berisi: (1) Pertengahan Agustus 1945 akan dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan bagi Indonesia (PPKI); (2) Panitia itu rencananya akan dilantik 18 Agustus 1945 dan mulai bersidang 19 Agustus 1945; dan (3) Direncanakan 24 Agustus 1945 Indonesia dimerdekakan.
Esok paginya, 8 Agustus 1945, Soekarno, Hatta, dan Rajiman dipanggil Jenderal Terauchi (Penguasa Militer Jepang di Kawasan Asia Tenggara) yang berkedudukan di Saigon, Vietnam (sekarang kota itu bernama Ho Chi Minh). Ketiga tokoh tersebut diberi kewenangan oleh Terauchi untuk segera membentuk suatu Panitia Persiapan Kemerdekaan bagi Indonesia sesuai dengan maklumat Pemerintah Jepang 7 Agustus 1945 tadi.
Sepulang dari Saigon, ketiga tokoh tadi membentuk PPKI dengan total anggota 21 orang, yaitu: Soekarno, Moh. Hatta, Radjiman, Ki Bagus Hadikusumo, Otto Iskandar Dinata, Purboyo, Suryohamijoyo, Sutarjo, Supomo, Abdul Kadir, Yap Cwan Bing, Muh. Amir, Abdul Abbas, Ratulangi, Andi Pangerang, Latuharhary, I Gde Puja, Hamidan, Panji Suroso, Wahid Hasyim, T. Moh. Hasan.
Jatuhnya Bom di Hiroshima belum membuat Jepang takluk, Amerika dan sekutu akhirnya menjatuhkan bom lagi di Nagasaki pada 9 Agustus 1945 yang meluluhlantakkan kota tersebut sehingga menjadikan kekuatan Jepang semakin lemah. Kekuatan yang semakin melemah, memaksa Jepang akhirnya menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada 14 Agustus 1945.
Konsekuensi dari menyerahnya Jepang kepada sekutu, menjadikan daerah bekas pendudukan Jepang beralih kepada wilayah perwalian sekutu, termasuk Indonesia. Sebelum tentara sekutu dapat menjangkau wilayah-wilayah itu, untuk sementara bala tentara Jepang masih ditugasi sebagai sekadar penjaga kekosongan kekuasaan.
Kekosongan kekuasaan ini tidak disia-siakan oleh para tokoh nasional. PPKI yang semula dibentuk Jepang karena Jepang sudah kalah dan tidak berkuasa lagi, maka para pemimpin nasional pada waktu itu segera mengambil keputusan politis yang penting. Keputusan politis penting itu berupa melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan Jepang dan mempercepat rencana kemerdekaan bangsa Indonesia.
- Periode Pengesahan Pancasila
Peristiwa penting lainnya terjadi pada 12 Agustus 1945, ketika itu Soekarno, Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat dipanggil oleh penguasa militer Jepang di Asia Selatan ke Saigon untuk membahas tentang hari kemerdekaan Indonesia sebagaimana yang pernah dijanjikan. Namun, di luar dugaan ternyata pada 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat. Pada 15 Agustus 1945 Soekarno, Hatta, dan Rajiman kembali ke Indonesia.
Kedatangan mereka disambut oleh para pemuda yang mendesak agar kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan secepatnya karena mereka tanggap terhadap perubahan situasi politik dunia pada masa itu. Para pemuda sudah mengetahui bahwa Jepang menyerah kepada sekutu sehingga Jepang tidak memiliki kekuasaan secara politis di wilayah pendudukan, termasuk Indonesia.
Perubahan situasi yang cepat itu menimbulkan kesalahpahaman antara kelompok pemuda dengan Soekarno dan kawan-kawan sehingga terjadilah penculikan atas diri Soekarno dan M. Hatta ke Rengas Dengklok (dalam istilah pemuda pada waktu itu “mengamankan”), tindakan pemuda itu berdasarkan keputusan rapat yang diadakan pada pukul 24.00 WIB menjelang 16 Agustus 1945 di Cikini no. 71 Jakarta.
Melalui jalan berliku, akhirnya dicetuskanlah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Teks kemerdekaan itu didiktekan oleh Moh. Hatta dan ditulis oleh Soekarno pada dini hari. Dengan demikian, naskah bersejarah teks proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini digagas dan ditulis oleh dua tokoh proklamator tersebut sehingga wajar jika mereka dinamakan Dwitunggal.
Selanjutnya, naskah tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Rancangan pernyataan kemerdekaan yang telah dipersiapkan oleh BPUPKI yang diberi nama Piagam Jakarta, akhirnya tidak dibacakan pada 17 Agustus 1945 karena situasi politik yang berubah. Satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yakni 18 Agustus 1945, PPKI bersidang untuk menentukan dan menegaskan posisi bangsa Indonesia dari semula bangsa terjajah menjadi bangsa yang merdeka.
PPKI yang semula merupakan badan buatan pemerintah Jepang, sejak saat itu dianggap mandiri sebagai badan nasional. Atas prakarsa Soekarno, anggota PPKI ditambah 6 orang lagi, dengan maksud agar lebih mewakili seluruh komponen bangsa Indonesia. Mereka adalah Wiranatakusumah, Ki Hajar Dewantara, Kasman Singodimejo, Sayuti Melik, Iwa Koesoema Soemantri, dan Ahmad Subarjo.
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka memerlukan perangkat dan kelengkapan kehidupan bernegara, seperti: Dasar Negara, Undang-Undang Dasar, Pemimpin negara, dan perangkat pendukung lainnya. Putusan- putusan penting yang dihasilkan mencakup hal-hal berikut: (1) Mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara (UUD ‘45) yang terdiri atas Pembukaan dan Batang Tubuh. Naskah Pembukaan berasal dari Piagam Jakarta dengan sejumlah perubahan.
Batang Tubuh juga berasal dari rancangan BPUPKI dengan sejumlah perubahan pula; (2) Memilih Presiden dan Wakil Presiden yang pertama (Soekarno dan Hatta); (3) Membentuk KNIP yang anggota intinya adalah mantan anggota PPKI ditambah tokoh-tokoh masyarakat dari banyak golongan. Komite ini dilantik 29 Agustus 1945 dengan ketua Mr. Kasman Singodimejo.
Rumusan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 adalah sebagai berikut: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sejarah bangsa Indonesia juga mencatat bahwa rumusan Pancasila yang disahkan PPKI ternyata berbeda dengan rumusan Pancasila yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Hal ini terjadi karena adanya tuntutan dari wakil yang mengatasnamakan masyarakat Indonesia Bagian Timur yang menemui Bung Hatta yang mempertanyakan 7 kata di belakang kata “Ketuhanan”, yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tuntutan ini ditanggapi secara arif oleh para pendiri negara sehingga terjadi perubahan yang disepakati, yaitu dihapusnya 7 kata yang dianggap menjadi hambatan di kemudian hari dan diganti dengan istilah “Yang Maha Esa”.
Rumusan Pancasila, baik yang terdapat pada pidato Ir. Soekarno maupun rumusan Panitia Sembilan yang tertuang pada Piagam Jakarta merupakan sejarah dalam proses penyusunan dasar negara. Rumusan seluruhnya autentik sampai akhirnya disepakati sebagaimana terdapat pada alinea keempat Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
Secara historis, ada tiga rumusan dasar negara yang diberi nama Pancasila, yaitu rumusan konsep Ir. Soekarno yang disampaikan pada pidato tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI, rumusan oleh Panitia Sembilan dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, dan rumusan pada Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 yang disahkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus1945.
- Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Pancasila
Pancasila merupakan ideologi dari negara Indonesia. Ideologi sendiri memiliki makna yaitu suatu pilihan yang sudah jelas membawa sebuah komitmen atau keterkaitan untuk diwujudkan. Pancasila sebagai ideologi nasional memiliki sebuah fungsi identik yang terkandung di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia (UUD RI) 1945. Pancasila sebagai ideologi mencerminkan seperangkat nilai terpadu di dalam kehidupan perpolitikan Bangsa Indonesia. Pancasila menjadi tata nilai yang digunakan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara.
Pancasila merupakan konsep ideologis, landasan kebangsaan serta metode hidup bangsa Indonesia, yang wajib dipimpin oleh bangsa Indonesia untuk menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, serta bernegara sehingga cita – cita bangsa bisa terwujud. (Fatma Ulfatun, 2021 : 204). Pancasila adalah Dasar Kesatuan Negara Republik Indonesia.
Lahirnya Pancasila menjadi suatu tonggak sejarah Bangsa Indonesia yang tidak akan pernah dilupakan. Kata Pancasila berawal dari bahasa Sansekerta yang dimana Panca berarti “Lima” dan Sila merupakan “Prinsip” atau “Asas”. Maka Pancasila merupakan “Lima Asas” atau “Lima Sila”. Lima sila tersebut adalah : (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat dan Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan; (5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Adapun rumusan sila-sila Pancasila tersebut terkandung nilai-nilai yang esensial yaitu: nilai religius (Tuhan adalah sebab pertama dari segala sesuatu, toleransi sesama dan antar umat beragama, adanya kebebasan dan kemerdekaan dalam beragama), nilai kemanusiaan (menghormati HAM, anti penjajahan, mengutamakan kebenaran dan keadilan, saling mencintai menghargai dan tenggang rasa antar sesama).
nilai persatuan (cinta tanah air dengan segala keberagamannya, cinta perdamaian, tidak membeda-bedakan sesama warga negara Indonesia), nilai kerakyatan atau demokrasi (cinta demokrasi, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, menghindari kekerasan dalam menyelesaikan masalah, tidak mementingkan diri sendiri, selalu mengedepankan musyawarah mufakat, cinta kebersamaan) dan nilai keadilan (kekeluargaan dan gotong royong, adil terhadap sesama, menghormati hak orang lain, kemajuan dan kesejahteraan bersama).
Adapun makna Sila yang terkandung dalam Pancasila:
(a) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, setiap warga negara Indonesia percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia dikembangkan sikap hormat-menghormati dan toleransi antara pemeluk agama dan penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga selalu dapat dibina kerukunan hidup diantara sesama umat beragama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan wajib melaksanakan semua perintah Tuhan dan menjauhi semua larangan-Nya.
Sadar bahwa agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa yang dipercayai dan diyakini, maka dikembangkanlah sikap saling menghormati, kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya, serta tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaannya itu kepada orang lain.
Dalam melaksanakan ajaran agama setiap warga bangsa Indonesia wajib menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa, menjaga persatuan umat sebagai warga bangsa, dan saling menjaga kesetaraan dan kebebasan beragama dalam hubungan antar umat beragama, dan memberikan kesempatan yang sama (adil) bagi semua pemeluk agama untuk beribadah dan mengepresikan tata cara beribadahnya (termasuk dalam membangun sarana beribadahnya).
(b) Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab berarti menjunjung tinggi nilai- nilai serta harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan, individu dan makhluk sosial. Nilai kemanusian yang sangat dihargai ini akan mendorong manusia Indonesia untuk sering melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan, dan berani membela kebenaran dan keadilan.
Bangsa Indonesia menyadari bahwa manusia mempunyai derajat yang sama. Sejalan dengan itu, hak kebebasan dan kemerdekaan akan dijunjung tinggi. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sikap saling menghormati dan bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain. Dalam mengembangkan makna nilai kemanusiaan ini dilandasi dengan sikap yang toleran, tidak membeda- bedakan (diskriminasi), kesederajadan sebagai makhluk Tuhan, adil dan tidak memihak, menghargai kebebasan, serta tetap menjaga persatuan dan kebersamaan.
(c) Sila Persatuan Indonesia memiliki makna bahwa manusia Indonesia harus hidup menjaga persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi atau golongan.
Bangsa Indonesia mempunyai rasa senasib dan sepenanggungan sebagai suatu bangsa. Bangsa Indonesia mempunyai rasa cinta terhadap bangsa dan negaranya. Rasa persatuan ini dilandasi oleh kesadaran sebagai makhluk Tuhan, sebagai manusia yang sederajad, yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan kerakyatan yang berasaskan pada keadilan.
(d) Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan memiliki makna bahwa manusia Indonesia sebagai warga negara memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, tidak boleh ada suatu kehendak yang dipaksakan kepada pihak lain. Keputusan diambil secara musyawarah untuk mencapai mufakat dan bermanfaat untuk kepentingan masyarakat dan negara.
Semua rakyat mempunyai kesempatan dan kedudukan yang sama dalam kehidupan politik dan pemerintahan. Tidak boleh satu pun manusia Indonesia yang hak, kedudukan dan kebebasannya dirampas. Bangsa Indonesia dalam menjalankan pemerintahan, pengambilan keputusan dan melaksanakan kepentingan negara, harus adil dan memperhatikan kepentingan bangsa dan negara yang diputuskan berdasar prinsip-prinsip yang mengutamakan musyawarah untuk mufakat berlandaskan pada bimbingan Tuhan Yang maha Kuasa.
(e) Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia mengandung nilai keadilan, keseimbangan antara hak dan kewajiban, penghargaan terhadap hak orang lain, gotong royong dalam suasana kekeluargaan, ringan tangan dan kerja keras untuk bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial. Adil disini dapat diartikan menempatkan sesuatu atau hak dan kewajiban pada tempatnya.
berbuat adil kepada diri sendiri berarti berbuat yang serasi antara hak dan kewajiban, berbuat adil kepada masyarakat berarti berlaku adil sesama warganya, berbuat adil terhadap alam berarti kita tidak boleh berbuat semena-mena dan merusak lingkungan hidup dan berbuat adil kepada Tuhan berarti melaksanakan kewajiban terhadap Tuhan.
Oleh karena itu, harus bersifat adil terhadap diri sendiri, orang lain, alam, dan Negara, jangan sampai melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.
Di dalam sila tersebut mengandung banyak makna dan nilai-nilai yang menjadikannya sebuah pedoman untuk Masyarakat Indonesia. Nilai-nilai Pancasila yang terkandung di dalam UUD 1945 seperti yang sebelumnya dijelaskan secara yuridis memiliki kedudukan sebagai kaidah Negara yang Fundamental. Adapun pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya tidak lain merupakan derivasi atau penjabaran dari nilai-nilai Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia berarti Pancasila dijadikan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara oleh masyarakat Indonesia. Nilai – nilai luhur Pancasila juga merupakan landasan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam berperilaku dan bertingkah laku dalam kehidupan sehari – hari. I Wayan Tagel Eddy, Aktualisasi Nilai Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. (Fatma Ulfatun, 2022 : 23-24).
Moerdiono (1995/1996) menunjukkan adanya 3 tataran nilai dalam ideologi Pancasila. Tiga tataran nilai itu adalah:
Pertama, nilai dasar, yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu. Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat amat abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan kebenaran yang bagaikan aksioma.
Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara. Nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat, maupun dari cita-cita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga masyarakat.
Kedua, nilai instrumental, yaitu suatu nilai yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar yang dijabarkannya.
Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu. Dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga proyek- proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.
Ketiga, nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis terdapat pada demikian banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara idealisme dan realitas.
Penulis Redaksi Rakhmat Sugainto.SH