Sejarah Pangeran Walang Sungsang Dan Keturunannya

Artikel. suararadarcakrabuana.com – Pangeran Walangsungsang, yang dikenal juga sebagai Ki Somadullah, Haji Abdullah Iman, Pangeran Cakrabuana dan Embah Kuwu Sangkan. Merupakan putra Prabu Siliwangi dari Nyi Subang Larang. Pangeran Walangsungsang mempunyai dua adik yaitu  Nyai Mas Rara Santang dan Pangeran Raja Sagara. Ketiga anak ini diyakini yang telah membangun pedukuhan Cirebon (Caruban Nagari).

Pangeran Walangsungsang, menurut Naskah Mertasinga, keluar dari Istana karena kecewa atas perlakuan Prabu Siliwangi kepada ibunya, Beliau bersama Rara Santang, kemudian pergi dan pada akhirnya menjadi cikal bakal berdirinya Cirebon, Pangeran Walangsungsang berdasarkan dari beberapa sumber menikah dengan Tiga wanita dan memiliki 9 orang anak, yakni 7 wanita dan 2 pria.

Istri pertama PangeranWalangsungsang diantaranya adalah Nyimas Indang Geulis  Putri dari Ki Gede Danuwarsih dan dari pernikahannya mempunyia seorang putri bernamaNyai Mas Pakungwati Yang kemudian menikah dengan Syehk Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Istri Kedua Nyai Rasa Jati putri Syekh Jatiswara Campa dan mempunyai 7 anak yaitu

1. Rara konda

2. Rara Jatmerta

3. Rara Jemaras

4. Nyai Mertasinga

5. Nyai Japamentar

6. Nya Jamarta atau Nyai Jamaras

7.Nyai Rasamala atau Nyai Rasamalasih

Istri yang ketiga Nyai Kencana Larang putri dari Ki Gede Alang – Alang mempunyai seorang anak yaitu Pangeran Cirebon.

Pada Tahun 1448 Atas anjuran Syekh Datuk Kahfi, Walangsungsang dan Lara Santang berlayar ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Kota Mekkah saat itu berada di bawah naungan Kesultanan Mamluk yang berpusat di Mesir. Kedua bangsawan Sunda ini hidup di Mekkah selama tiga bulan, di bawah bimbingan Syekh Bayanullah (saudara Syekh Datuk Kahfi).

Selama di Mekkah, Walangsungsang dan Lara Santang masing-masing mengambil nama Arab, yakni Haji Abdullah Iman dan Syarifah Mudaim. Lara Santang kemudian menikah dengan seorang amir atau bangsawan setempat bernama Syarif Abdullah, dan berputrakan Syarif Hidayatullah (kelak menjadi tokoh berpengaruh di Jawa) yang dipekirakan lahir pada tahun itu juga. Ia tampaknya menetap di sana bersama suami dan putranya, sementara Walang Sungsang pulang ke Cirebon.

Pangeran Walang Sungsang berkuasa sebagai Kuwu Cirebon menggantikan Ki Gede Alang-Alang. Ia kemudian memproklamirkan Cirebon sebagai sebuah Nagari[c], di mana ia meleburkan seluruh Nagari Singapura[d] ke dalam kekuasaannya. Ia juga menyatukan Nagari di sekelilingnya, yakni Surantaka, Wanagiri, dan Japura ke dalam Kesultanan Cirebon. Sejak saat itu, Walangsungsang lebih dikenal dengan nama barunya, Pangeran Cakrabuana.

Pada masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Cirebon berbatasan dengan Cimanuk (Indramayu) di barat, Rajagaluh (Majalengka), Saunggalah (Kuningan), Dayeuh Luhur, dan Pasir Luhur (Cilacap-Banyumas) di selatan, Paguhan (Tegal-Pemalang) di timur, dan Laut Jawa di utara. Pelabuhan utamanya adalah Muara Jati. Cakrabuana tetap berkuasa di bawah Kerajaan Galuh.

Beliau mengirimkan upeti (bulubekti) tahunan kepada Tuhan Yang Dipertuan atau Raja Galuh yang juga merupakan kakeknya, Dewa Niskala. Sang kakek mengirim misi perutusan ke Cirebon untuk melantik Cakrabuana secara resmi sebagai raja daerah dengan gelar Tumenggung Sri Mangana. Misi ini dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya dan Raden Kian Santang (adik kandung Cakrabuana). Kian Santang kemudian menetap di Cirebon mendampingi kakaknya.

Pada tahun 1474, Syarif Hidayatullah berangkat ke Jawa untuk mendakwahkan agama Islam. Sebelumnya, ia telah banyak berguru kepada sejumlah ulama Arab di Kesultanan Mamluk, khususnya di Mekkah dan Baghdad. Dalam perjalanan ke Jawa, ia singgah di Gujarat dan Pasai. Di Pasai, ia bertemu dengan Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri.

Setahun kemudian, pada tahun 1475, Syarif Hidayatullah tiba di Jawa dan mendarat di Banten, tampaknya bertemu dengan Sunan Ampel, seorang ulama anggota Dewan Wali Sanga. Ia mengajaknya ke pesantren yang dipimpinnya di Ampeldenta (Surabaya) dan menggemblengnya sebagai seorang pendakwah. Kemudian akhirnya diangkat sebagai anggota Wali Sanga, dengan tugas menyebarkan Islam di Tatar Sunda (Jawa Barat).

Setelah itu, Syarif Hidayatullah akhirnya berlayar ke Cirebon, didampingi sekelompok pelaut India pimpinan Dipati Keling, yang telah memeluk Islam dan mengabdi kepadanya. Sesampainya di Cirebon, ia disambut oleh paman nya, Cakrabuana. Oleh sang paman (uwa), Syarif Hidayatullah dianugerahi gelar Syekh Maulana Jati. Lalu bermukim di daerah Gunung Jati, dan menjadi pendakwah Islam utama di sana menggantikan Syekh Datuk Kahfi (yang telah lama wafat).

Ia juga sempat tinggal di Banten. Beliau berhasil mengislamkan Bupati Kawunganten dan menikahi putrinya, Nyai Ratu Kawunganten. Pada tahun yang sama, Maharaja Sunda, Niskala Wastukancana wafat setelah memerintah selama 104 tahun. Pasca kematiannya, Kerajaan Sunda kembali dibagi dua, dengan Sunda beribukota di Pakwan di bawah Susuktunggal atau Sang Haliwungan dan Galuh (beribukota di Kawali) di bawah Dewa Niskala atau Prabu Anggalaran.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *