Sejarah Perjuangan Pangeran Diponegoro Pemimpin Perang Jawa

Pangeran Diponegoro adalah pahlawan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Beliau lahir 11 November 1785 di Yogyakarta, dengan nama asli Raden Mas Ontowiryo. Putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III ini menjadi salah satu pahlawan yang cukup dikenal sebagai pemimpin Perang Diponegoro.

Pangeran Diponegoro memimpin perang untuk mendapatkan keadilan dari sikap penjajah Belanda yang melakukan penindasan kala itu. Belanda menyewakan tanah kepada petani pribumi secara semena-mena, sedangkan kepada pengusaha swasta sewa diberikan tanpa batasan agar bisa dijadikan lahan perkebunan.

Mengutip dari buku Sejarah Indonesia yang disusun Ersontowi, Pangeran Diponegoro dikenal karena Perang Jawa. Perang ini terjadi selama 5 tahun dari 1825 sampai 1830 di pulau Jawa. Perang tersebut menewaskan banyak orang, ketika pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock dari Belanda berusaha mengalahkan penduduk. Sekitar 200 ribu orang tewas dalam pertempuran.

Sedangkan pihak Belanda kehilangan 8.000 tentara dan 7.000 serdadu pribumi. ADVERTISEMENT Pangeran Diponegoro meninggal pada 8 Januari 1855 di Makassar, Sulawesi Selatan. Beliau meninggal di usia 69 tahun.  Babad Diponegoro ditetapkan sebagai Memory of The World.

Sejarah Singkat Pangeran Diponegoro Sejarah Singkat Pangeran Diponegoro (encyclopedia.jakarta-tourism.go.id) Perang Jawa terjadi karena Pangeran tidak ingin Belanda ikut campur dalam urusan kerajaan. Mengutip dari laman Kemdikbud.go.id, tahun 1821 terjadi penyalahgunaan penyewaan tanah karena warga Belanda, Inggris, Perancis dan Jerman. Petani lokal menderita karena penyewaan lahan tanah.

Dekrit yang dikeluarkan oleh van der Capellen dikeluarkan pada 6 Mei 1823. Pada 29 Oktober 1824, Pangeran Diponegoro mengadakan pertemuan untuk membahas perlawanan dengan Belanda. Pangeran Diponegoro melakukan perlawanan dengan cara membatalkan pajak yang digunakan kepada petani di Tegalrejo bisa membeli senjata dan makanan.

Alasan lain perlawanan terhadap Belanda yakni, ketika Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak dan membuat rel kereta api melewati makam para leluhur. Peristiwa tersebut terjadi di Mei 1825, di mana Hendrik Smissaert yang merupakan Residen Yogyakarta yang ditunjuk oleh gubernur jenderal, memutuskan memperbaiki jalan kecil di Yogyakarta.

Proses pembangunan dilakukan dari Yogyakarta ke Magelang. Patok-patok dipasang melintasi makam leluhur Pangeran Diponegoro. Sementara itu, Patih Danureja tidak memberitahu pada Pangeran tentang patok itu. Patok-patok tersebut kemudian diganti menjadi tombak untuk pernyataan perang.

Perlawanan Pangeran Diponegoro 5 Tahun Perang Tegalrejo Sebelum perang dimulai, pada 20 Juli 1825 pihak istana mengutus dua bupati untuk memimpin pasukan Jawa Belanda. Dua bupati tersebut diminta menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo.

Kediaman Pangeran Diponegoro dirusak dan terbakar namun, keluarga dan pasukan bergerak ke arah barat untuk menyelamatkan diri. Mereka sampai di Desa Dekso, Kabupaten Kulonprogo sampai kemudian perjalanan diteruskan ke arah Selatan.

Pangeran Diponegoro kemudian pindah ke daerah perbukitan, Selarong. Beliau menjadikan Goa Selarong sebagai markas besar. Goa Selarong berada 5 km dari arah barat Kota Bantul. Pangeran Diponegoro juga menempati Goa Kakung yang berada di sebelah barat dan digunakan sebagai tempat pertapaan. Perang di Tegalrejo berlangsung selama 5 tahun.

Pangeran Diponegoro bersama petani dan golongan priyayi menyumbangkan uang dan barang-barang untuk dana perang. Sebanyak 15 sampai 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro untuk berperang. Mereka memakai semboyan “Sadumuk bathuk, sanyari bumi dithoi tekan pati” yang artinya sejari kepala sejengkal, tanah dibela sampai mati.

Perang Tegalrejo juga menjadi perang jihad melawan Belanda. Pangeran Diponegoro merupakan sosok religius yang dikeluarkan dari istana karena Belanda. Letnan Jean Nicolaas de Thierry menggambarkan penampilan Pangeran Diponegoro. Beliau memakai sorban berwarna putih dan busana gaya Arab.

Pertempuran semakin sengit ketika suatu wailayah dikuasai Belanda di saiang hari. Kemudian ketika malam hari, wilayah tersebut direbut kembali oleh pribumi. Peperangan besar oleh rakyat pribumi dilakukan ketika musim hujan. Para senopati bekerjasama dengan alam sebagai senjata tak terkalahkan. Ketika musik hujan, gubernur Belanda melakukan usaha seperti gencatan senjata dan berunding.

Hujan deras di daerah tropis menyebabkan pasukan Belanda terhambat. Pasukan ini terkena malaria, disentri, dan penyakit yang menyebabkan kondisi fisik melemah. Belanda akhirnya menyebarkan provokator dan mata-mata yang berada di desa dan kota. Provokator ini untuk menghasut dan memecah belah anggota keluarga pangeran dan pasukan. Tetapi pejuang pribumi tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Pangeran Diponegoro Ditangkap Tahun 1827, Belanda menggunakan sistem benteng untuk menyerang Pangeran Diponegoro. Kemudian tahun 1829, Kyai Mojo pemimpin spiritual dan membantu pemberontakan ditangkap oleh Belanda. Belanda juga melakukan perang saudara antara pihak keraton. Hal ini membuat beberapa orang berpihak pada Diponegoro dan ada yang melawan.

Kemudian pada 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menangkap pasukan Diponegoro di Magelang. Mereka melakukan siasat dan berunding untuk menangkap Diponegoro. Akhirnya beliau menyerah diri untuk ditangkap asalkan pasukannya dilepaskan.

Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan di Manado, Sulawesi Utara. Sebelum diasingkan ke Manado, Diponegoro sempat disekap di penjara bawah tanah Stadhuis. Kemudian beliau dipindahkan di Ujung Pandang dan meninggal dunia pada 8 Januari 1855, di benteng Rotterdam.

 

Sumber : Buku Sejarah

Penulis Redaksi : Rakhmat sugianto.SH

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *