Jakarta, Suararadarcakrabuana com – Kekerasan terhadap jurnalis terus meningkat di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Aksi-aksi intimidasi, ancaman fisik, hingga kekerasan secara langsung, menjadi ancaman nyata yang dihadapi oleh para jurnalis dalam menjalankan tugas mereka.
Hal ini sangat mengkhawatirkan, mengingat jurnalis adalah pilar penting dalam menjaga kebebasan informasi dan memperkuat demokrasi.
Kekerasan terhadap jurnalis tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga merusak fungsi media sebagai pengawas pemerintah dan alat untuk memberikan informasi yang independen dan akurat kepada publik.
Pers yang bebas dan merdeka adalah syarat mutlak bagi demokrasi yang sehat. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai kasus kekerasan terhadap jurnalis kerap kali tidak disertai dengan penegakan hukum yang tegas, menyebabkan ketidakpercayaan terhadap perlindungan hukum bagi para jurnalis.
Pandangan Hukum Kekerasan Terhadap Jurnalis
Dalam perspektif hukum, kekerasan terhadap jurnalis dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap kebebasan pers yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal 4 undang-undang tersebut menegaskan bahwa pers nasional memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, serta bebas dari segala bentuk penyensoran, pembredelan, maupun larangan penyiaran.
Tindakan kekerasan yang mengancam keselamatan jurnalis juga bisa dikategorikan sebagai tindak pidana, sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 351 KUHP mengenai penganiayaan dapat digunakan untuk menjerat pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Selain itu, Pasal 18 Undang-Undang Pers menyatakan bahwa setiap orang yang secara sengaja menghalangi atau menghambat kerja jurnalis dapat dikenakan pidana penjara hingga 2 tahun atau denda hingga Rp 500 juta.
Meskipun regulasi hukum sudah jelas, implementasi di lapangan seringkali lemah. Banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis yang tidak berakhir dengan keadilan bagi korban. Oleh karena itu, langkah tegas dari aparat penegak hukum sangat dibutuhkan untuk memberikan perlindungan kepada jurnalis yang tengah menjalankan tugasnya.
Secara global, berbagai organisasi internasional seperti Reporters Without Borders (RSF) dan Committee to Protect Journalists (CPJ) telah lama menyerukan penghentian kekerasan terhadap jurnalis dan meminta pemerintah untuk melindungi kebebasan pers.
RSF dalam laporannya menyebutkan bahwa tahun 2024 menjadi tahun dengan peningkatan jumlah serangan fisik dan penahanan jurnalis secara ilegal di beberapa negara.
Di Indonesia, Ketua Umum Forum Reporter dan Jurnalis Republik Indonesia (FRJRI), M. Ridho, menegaskan pentingnya penegakan hukum yang kuat dan tanpa pandang bulu dalam menindak pelaku kekerasan terhadap jurnalis.
Menurutnya, peran jurnalis dalam mengungkap kebenaran tidak boleh dihalangi oleh kekuatan-kekuatan yang berusaha menutupi informasi dari publik.
“Kekerasan terhadap jurnalis adalah sebuah kejahatan serius. Setiap kali jurnalis diserang, kebebasan masyarakat untuk mendapatkan informasi juga ikut dilukai,” ujar M. Ridho dalam sebuah pernyataan. FRJRI mendesak agar pihak kepolisian segera menindaklanjuti laporan kekerasan terhadap jurnalis secara transparan dan sesuai hukum yang berlaku.
Sudah saatnya dunia bersatu untuk menghentikan kekerasan terhadap jurnalis. Pemerintah harus memastikan bahwa para jurnalis dapat bekerja tanpa rasa takut, dan masyarakat harus terus mendukung kebebasan pers sebagai bagian integral dari demokrasi.
Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya melanggar hak-hak individu mereka, tetapi juga merusak fondasi masyarakat yang terbuka dan berkeadilan.
Kebebasan pers harus dijaga, dan setiap bentuk kekerasan terhadap jurnalis harus dihukum secara adil dan tegas.
Sumber :M.ridho detektif / Dpp Frjri*